Minggu, 30 Maret 2008

PEMIMPIN KURANG BUMBU

Seperti diketahui, dalam dunia organisasi; baik bisnis, olah raga, sosial dan lain sebagainya tentu ada yang menjadi leader, atawa pemimpin nya. Begitu, . . . .
Nah, konon untuk jadi pemimpin perlu punya banyak bekal, ya ilmu, ya power, ya jejaring dan masih buaaanyak lagi. Tentu tidak ada pemimpin yang 100% komplit. Ada saja kekurangannya, apalagi jika kita melihatnya secara subyektif, dan subyek2 yang dipimpin begitu banyaknya.
Yang ingin saya soroti kali ini bukan kekurangnnya, tetapi lebih pada cara seorang pemimpin melengkapi diri. Menjadikan dirinya dan organisasinya pembelajar adalah salah satu point penting. Tapi tentu tidak nguber dengan waktu dan kebutuhan yang terus lari mengejar. Saya sering mengamati pemimpin yang bumbunya kurang tersebut dengan menggali potensi dari stafnya. Sama sekali tidak masalah dan sah2 saja. Yang sering menjadi masalah justru bila dia memberikan reward yang berlebihan pada staf yang mampu menjadi dewa penolongnya tadi. Bukan apa2, kadang persolannya sederhana saja, cuma karena dia tidak paham jadi seperti istimewa. Teus melupakan staf lain yang kerjanya sebenarnay bila ditimbang jauh lebih berat dan berbobot strategis.
Contoh sederhada, era limabelas-tahunan lalu banyak manager unit bisnis yang masih gaptek. Begitu sang boss harus presentasi, staf yang bisa menuangkannya dalam Powerpoint seperti segala-galanya, lebih dari yang menyiapkan content materinya. Terus diberi ganjaran yang berlipat. Ini sering terjadi.
Dari contoh sederhana tadi, kalau kita jadi boss perlu memberikan pahala yang setimpal, bukan dari ukuran ketidak mampuan kita.
Dan kalau kita jadi staf? akankah kita mencari peluang melengkapi bumbu yang kurang? Terserah anda, . . . . Terus belajar dan menyiapkan diri akan lebih baik, sehingga jika tugas memanggil kita siap jadi pemimpin yang sedaaap, pas bumbunya . . . . .

Kamis, 27 Maret 2008

BERCERMIN

Melanjutkan tentang artikel Under Estimate yang lalu, mengingatkan betapa kita perlu mengapresiasi diri, agar orang lain memberikan 'nilai' yang tepat tentang kapabilitas kita. Bagi perusahaan, mengukur kapabilitas sangatlah penting agar beban yang diberikan kepada pegawainya tidak melebihi kapasitasnya. Sementara bagi si pegawai perlu meng-ekspresi-kan kapabilitasnya secara jujur, sehingga orang tidak under estimate atau over estimate.
Under estimate akan menyebabkan kapasitas karyawan tidak termanfaatkan secara optimal. Sementara over estimate akan menyiksa si karyawan karena dibebani melebihi kapsitasnya. Singkat kata, perlunya beban kerja setara kapasitasnya. Jadi jangan kita menampilkan diri terlalu rendah atau terlalu tinggi, agar tidak saling dirugikan. Ada komentar?

Sabtu, 22 Desember 2007

Under Estimate

Tidak seperti biasanya, Evie, . . begitu nama akrab kolega yang tempat duduknya persis disampingku, pagi-pagi lansung nyerocos menumpahkan uneg-uneg nya seperti senapan otomatis. Bahkan sebelum duduk dengan sempurna.
O ya, temanku ini terkenal perfeksionis, kerja cekatan, pandai bergaul, tidak memiliki hambatan kultural dan selalu menjga penampilannya. Kalau memasuki ruamg kantor, semua disapa dengan hangat akrab, sebelum kemudian duduk dengan manis, sambil membetulkan (mengusap) rok atau pantalonnya agar tidak kusut, . . . Aku hapal benar habbit nya ini.
Lalu kenapa pagi ini dia begitu sewot??? Ceritanya, kemarin ketika pulang kantor mampir di mall untuk suatu keperluan, di pintu gerbang mall berdiri gadis-gandis cantik (spg) sebuah produk parfum, menyapa pengunjung dengan ramah sembari menyemprotkan sampel parfumnya. Nah, Evie temanku ini, merasa di cuek in, tidak di sapa apalagi disemprot parfum, . . . . Tersinggung, dilecehkan, . . . begitu istilah tepatnya?
Koq tersinggung? Kalau aku sich justru merasa terganggu, bila harus dihadang dengan spg - spg itu. Apalagi kalau pakai disemprot-semprot segala, . . . maklum tanpa patrfum pun aku sudah wangi ( he he e, . . . .)
Evie, temanku yang perfektionis tadi merasa berhak disemprot, ditawari produk parfum itu. Karena selain sering merasa suka pakai parfum, juga merasa mampu beli, . . . . dan pokoknya berhak gitu katanya, . . . jadi dia merasa dilecehkan.
Ngomong-ngomong soal pelecehan, underestimate atau apalah namanya, diseputar kita sebenarnya banyak sekali terjadi, naik kita sebagai obyek atau subyeknya, . . . .
Lihat saja bos kita, sering memberikan disposisi kepada kita : untuk diarsipkan, diadministrasikan, atau bahkan gopy untuk saya . . . . .
Padahal sebagai team kreatif semua tahu kita ga punya anak buah dan tugasnya menganalisis pasar dan mengusulkan produk-produk baru , . . . . artinya kita disetarakan dengan tukang arsip dan tukang fotocopy , . . . . bukankah ini juga salah satu bentuk pelecehan?
Alasan bos, waktu saya tanyakan, dengan mengarsip dan mengcopy dokumen kan kamu bisa banyak belajar, jangan lupa juga: disitu terdapat banyak informasi !!!!, katanya sungguh-sungguh.